RINTIHAN
Hangatnya cahaya keemasan di ufuk timur pagi ini sudah terasa menjilat
kulit. Bau angin semilir di pedesaaan Pondokrejo yang semula wangi kembang dan
tanaman musim penghujan, telah lama beralih bau angin musim kemarau yang khas
dengan tanaman tembakau. Membuatku tak tahan selalu menutup hidung dengan sleyer.
Sejak usia dua belas tahun aku terkena asma, bukan karena aku tak tahan
dengan kerontang dan tandusnya musim kemarau ini, tetapi tak tahan dengan asap
pengopen tembakau yang sering digunakan mengeringkan tembakau ketika hujan.
Disaat tembakau siap panen hujan sering turun karena sudah dekat dengan
pergantian musim. Asap menggumpal-gumpal
dari cerobong pengopen tak henti otot-otot kekar menyodorkan gelondongan kayu
akasia untuk dibakar hingga menjadi bara api, hal itu membuat asmaku sering
kambuh.
Setelah hujan reda, aku mengajak
kemin untu menemaniku melukis di danau Umpang. Selagi aku menyiapkan kuas,cat
air, dan papan lukis, kemin menyiapkan kanfas dan asesoris lukis. Kami segera
menuju disebuah gubuk yang dibuat pamanku di bibir danau umpang. Selagi menyusuri
jalan terdengar suara Sidul memanggilku dari atas batu besar dan segera
menghampiriku, "mau kemana Dong?" wah sialan Sidul, selalu memanggilku Bodong
padahal nama pemberian orangtuaku lebih bagus. "Ke danau melukis". Jawabku
singkat. "Ikut aja Dul nanti kita memancing ikan, Bodong biar melukis". Sidul
ahirnya ikut gabung dan kami segera melanjutkan perjalanan.
Nafasku mulai sesak,tubuhku
pucat dan langkahku mulai melambat. Kemin menatap wajahku dan dia tahu harus
berhenti beristirahat sejenak. Kami berteduh di bawah pohon nangka, Sidul
memberiku secangkir air minum dan tiga helai singkong rebus yang dilumati gula
aren. Tampaknya Kemin terlihat kelaparan singkongku diembat juga. Tinggal satu
singkong yang yang tertinggal dan satu-satunya yang menggoda lidah Kemin, eh
dia ambil juga. Ketika singkong sudah di ujung lidah Kemin, cepretttttttt....!
seekor burung Rangkok buang hajat tepat mengenai tangan Kemin dan mengenai
singkongnya. Sehigga Kemin marah dan melempar singkong itu, sayang lemparanya
tidak mengenai burung itu, justru menjadi bumerang. Singkong itu kembali
menjatuhi kepala Kemin karena terkena ranting
nangka. Sidul tak mapu menyembunyikan tawanya hingga mengguling-guling
tertawa terpingkal-pingkal, Aku tak kalah saing tertawa lepas dan menyoraki Kemin.
Seekor monyet di atas pohon nangka justru lari terbirit-birit sialnya monyet
itu menjatuhkan nangka busuk hampir saja aku tertimpa, meski tidak tertimpa
tetapi nangka busuk itu terpercik mengenai tubuh Sidul dan tubuhku. Hal itu membuat Kemin
membalas mengolok-ngolok. Kami segera lari menuju danau itu karena sudah tidak
tahan dengan bau busuk itu.
Setelah semua bersih aku segera
mempersiapkan alat lukis di dalam gubuk. Menata konsentrasi penuh imajinasi
sambil menatap pemandangan danau yang penuh dengan kerapu-kerapu ikan. Tampaknya Sidul dan Kemin masih saja berenang di
danau itu. Kulitnya hingga kusut seperti kulit katak dan badannya terlihat
licin seperti ikan patin. Aku mulai mempoles kanvas dengan cat warna biru dan
menindas dengan beberapa cat putih. Senada dengan hatiku yang menginginkan
menggambar danau Umpang. Kemin dan Sidul datang menghampiri mengajak memancing
ikan, namun lukisanku belum juga selesai masih butuh beberapa sentuhan, ahirnya
mereka berdua memancing dan membiarkanku menyelesaikan lukisan.
Tiba–tiba terdengar suara gaduh
mengganggu konsentrasi, segeraku melihat disebelah kanan sudut gubuk ternyata
suara gaduh itu bersumber dari suara seorang permilik krapu ikan. Seketika
aku tersontak melihat tajamnya golok yang diacung-acungkan pak Sukri kepada Sidul.
Sidul sangat gemetaran dan seketika sujut dikaki pak Sukri, namun pak Sukri
tetap saja menodongkan goloknya dileher Sidul, mungkin dia hanya
menakut-nakuti. Kemin tampaknya tidak
berani melerai dan aku segera menghampiri
untung saja pak Sukri sangat dekat denganku, wajar karena masalalunya
dia pernah jatuh cinta pada ibuku, namun
ibuku lebih memilih laki-laki lain. Kami segera meminta maaf dan berjanji tidak
akan mengulangi kembali. Pak Sukri justu memberi lima ekor ikan nilanya.
Karena sudah sore aku tidak lagi melanjutkan melukis kami segera pulang kerumah
masing-masing. Di rumah pasti orangtua
sudah menghawatirkanku.
Malam harinya Sidul dan Kemin
datang menemani karena kedua orangtuaku pergi ke Magelang sekitar tiga hari, Aku
meminta agar mereka menemani. Sudah larut malam tapi belum juga bisa tidur, eh
Kemin justru bercerita hantu danau Umpang. Banyak yang menyebutnya hantu
kepala. Mati dibunuh karena mencuri ikan di kerapu danau Umpang. Seseorang menebas kepalanya hingga terputus dari badannya,
kepalanya dibuang ditengah danau dan badanya dikubur oleh keluarga korban.
Suasana itu menjadi mencekam karena kepala yang dibuang tidak ditemukan dan
tidak bisa disemayamkan bersamaan dengan tubuhnya. Bahkan beberapa hari setelah
kematiannya para warga sering diganggu setan kepala, dan desaku menjadi tak
akur dengan desa korban sering terjadi perkelahian antar desa.
Hantu kepala sering mengganggu
warga desa, arwah yang gentayangan karena mati tidak wajar lantas saja hantu
itu sering muncul mengganggu dengan suara-suara rintihan. Aku segera memotong
cerita Kemin. Gara-gara cerita itu bulu kudukku merinding berdiri apalagi
suasana dingin karena hujan diluar sangat deras menambah suasana menjadi
mencekam. Akhirnya kami bertiga berdesak-desakan di kamar, kamarku yang kecil menjadi
sangat sempit. Tiba-tiba lampu rumah seketika mati, rasa takut itu semakin
menjadi-jadi. Aku memberanikan diri berjalan merayap-rayap mencari lilin dan
korek api diruang tamu kerena ibu sering
menaruh lilin disana. Ketika membuka pintu ruang tamu kepalaku tertimpa bingkai
lukisan. Piarrrrrrr, suara kaca yang pecah kelantai terdengar Kemin dan Sidul.
Aku menjerit kesakitan. "Dul, Min tolong
kepalaku berdarah, tolong Dul, tolong". Sidul dan Kemin segera menemuiku. Aku
meminta sidul mencari perban dan obat merah di loker lemari tapi harus
menemukan lilin terlebih dahulu untuk menerangi, akhirnya kami bertiga
melanjukan pencarian.
Seketika terdengar suara
rintihan dari gudang kosong, suara itu semakin keras dan terdengar sebuah
kardus terjatuh. "Mungkin ada maling masuk Dong, atau hantu kepla itu datang?" .
"Ah ngaco kamu Min", sahutku lirih. Tiba-tiba
pintu depan terbuka aku lupa belum mengancingnya, angin disertai air hujan
masuk kerumah, udara dingin itu membuat kami menjadi semakin ketakutan. Suara
rintihan itu kembali terdengar, Aku takut Min, Dul tutup pintunya, Sidul tidak
berani menutup pintu. Kami hanya berjongkok bersembunyi dibawah meja. "Sreeekkkk,
srekkk,sreeekk". Ada suara orang berjala Dul,aku beralih menyuruh Kemin menutup
pintu tapi kemin juga tidak berani.
Ahirnya lampu hidup juga, Kemin
menutup pintu dan melihat pohon mangga di depan rumah ternyata bunyi seperti
orang jalan itu bersumber dari daun mangga yang tertiup angin mengenai genting
rumah. Sementara Sidul mencarikan obat merah dan perban, segera dia mencari
luka di kepalaku. Dul tolong bersihkan dulu darah di kepalaku. Sidul justru
tertawa, Dong-Dong! itu bukan darah tapi cat air pasti kamu tadi kejatuhan cat
air sisa lukisan. Hahahaha
Suara rintihan itu kembali
terdengar, kami penasaran dengan suara rintihan di gudang kosong, aku berlahan
membuka pintu gudang pelan-pelan mengintip tiba-tiba kucing betina lari keluar
dari gudang itu penuh dengan darah di sekujur pantatnya, kami bertiga
memberanikan masuk gudang, Aku terus mencari tahu,semakin Aku berjalan kesudut
tembok yang penuh pakaian bekas tercium bau amis darah, Dul, Min keseni ada bau
amis di dalam kardus, mereka segera mendekatiku, jantungku dak dik duk ketika
akan membuka kardus itu. Kupejamkan mata ketika membuka dengan rasa takut aku
berfikir isi di dalam kardus itu hantu kepala tapi ternyata enam anak kucing
masih basah penuh lendir dan darah baru saja dilahirkan. Kita merasa lega suara
rintihan itu ternyata kucing betinaku yang merintih mengerang-ngerang kesakitan
melahirkan anak-anaknya.
Post a Comment
komentar yang sopan sopan saja