Media belajar Media belajar Author
Title: cerpen NGIDAM CERAI. yang berharap segera dimuat dan di acc.
Author: Media belajar
Rating 5 of 5 Des:
Cerpen ngidam cerai NGIDAM CERAI Malam ini mendung menyeret langit dalam gelap, tidak membiarkan bulan dan bintang merkah menyinari p...
Cerpen ngidam cerai
NGIDAM CERAI
Malam ini mendung menyeret langit dalam gelap, tidak membiarkan bulan dan bintang merkah menyinari pelataran rumah. Rinai hujan mulai turun dan rintihan binatang malam protes akan dinginnya udara. Di sekitar pohon jambu kelalawar yang kelaparan berklebatan mencari buah yang sudah matang. Bahkan hampir saja binatang bertaring itu menabrak kepala saat ia terbang melintasi teras rumah.
            Emak memanggilku agar segera masuk kedalam rumah, tapi aneh, tidak biasanya Emak membuatkan secangkir teh hangat dan mengajak bercakap-cakap. Emak banyak berbicara tentang pernikahan padahal usiaku baru 20 tahun. Tidak ada salahnya aku mendengarkan omongan Emak toh kelak aku juga akan menikah.
            “Fa...,” emak berbicara dengan mimik dan intonasi terbata-bata.“kalau kamu memilih pasangan harus melihan bebet dan bobot, melihat garis keturunannya, kalau bisa derajat sosialnya lebih tinggi dari kita. Kamu harus mengetahui apakah dia seorang yang bertanggung jawab atau tidak, dan apakah dia sosok laki-laki yang bisamencukupi kebutuhan rumah tanggamu”.  Emak bertutur sambil mengelus setiap helai rambut dan beberapa kali jari-jari tangan itu mendekap punggung tangan kiriku.
            Di dalam hati aku tidak setuju dengan kakata-kata yang selalu diucapkan turun-temurun itu, bahkan kata-kata itu sudah terdengar sangat kuno. Dari kata-kata itu sekarang aku tahu sifat yang dimiliki Emak, Emak benar-benar materialistis. Padahal setiap kebahagiaan tidak selalu didapat dari uang. Tetapi aku tetap menghormatinya dengan berpura-pura tersenyum dan menganggukkan kepala. Toh tidak semua yang dikatakan Emak salah.
            “Fa,,,. Kamu sudah pantas menikah lo.” Emak berbicara dan kami saling bertatap mata.“Emak sudah memilihkanmu laki-laki yang cocok.”
“Apa mak! Siapa?” Jawabku terhentak, tadinya aku mengira emak hanya bercanda.
“Nanti kamu akan tahu orangnya, tapi kamu harus melupakan Agus. Karena pilihan Emak jauh lebih pantas dari pada dia”. Emak berkata dengan halus agar tidak membuatku marah dan Emak mengendalikan suasana agar tetap dingin.
Tetapi aku justru memberontak, aku berdiri menjauh dari Emak.
“Ogah!.” Aku gakmau kehilangan Mas Agus, kenal pun aku gak mau dengan laki-laki pilihan Emak apalagi aku harus menikah dengannya. Harusnya Emak tahu  Mas Agus adalah laki-laki yang selalu aku lingkarkan namanya di hati, dia adalah pengobat lara dan pengobat rindu bahkan kesetiaannya sudah teruji saat kutinggal pergi ke Malaysia menjadi TKW. Seenaknya saja Emak menjodohkan Fa dengan laki-laki yang sama sekali tidak Fa kenal.
            Entah tawaran apa lagi yang harus aku telan, Emak adalah nahkoda yang selalu mengarahkanku melintasi samudara yang sama sekali belum pernah aku kecup airnya. Seperti malam itu emak melabuhkanku di suatu tempat yang amat asing, tempat yang penuh kutukan, penindasan bahkan tempat yang tidak akan pernah membiarkanku lolos dari kejaran binatang buas.Kemudian  segrombolan para pamong duduk bersila, didekat jendela aku melihat laki-laki muda, berkumis tipis, mengenakan pakain rapi, dan dia tampak berbeda dari segrombolan itu. Emak menyuruhku membuatkan teh hangat. Tetapi tidak hanya teh yang dimaksudkan Emak. Tidak masalah bagiku itu adalah adat yang selalu turun temurun memberikan jejamuan untuk para tamu.
            Di sela-sela pembicaraannya Emak memanggilku untuk turut berkumpul, aku duduk di samping kanan Emak.
            “ini loh mas Mufid, anak saya yang akan kamu jadikan calon istri”  aku tersentak mendengar omongan Emak, mata yang seiris bulan sabit terbelalak sambil menoleh ke Emak. Mengalir sungai kembar di antara dua ujung mata. Aku berlari menuju kamar.
“Mati aku.” Para tamu telah membuatkanku peti mati, dan beberapa dari mereka membuatkan kuburan. Mengubur semua impian dan keinginanku untuk menikah dengan Mas Agus. Bahkan sepincuk demokrasi tidak dibiarkan untuk berunjuk gigi. Emak benar-benar penguasa meski tidak punya kuasa. Emak tetap akan menikahkan dengan Mufid anak dari Jianto teman kecilnya yang sekarang telah menjadi kepala sekolah SMA. Aku gak sudi menikah dengan Mufid, laki-laki yang nantinya akan mencium pipiku, memeluk, meraba, melucuti seluruh tubuh, bahkan akan merampas keperawananku dan nantinya akan menyusui anak dari laki-laki yang tidak aku harapkan.
Hah. Ini mimpi buruk! Ini lebih buruk dari mimpi, ini kenyataan buruk. Kenapa Emak ngebet kawinin aku dengan Mufid, toh Emakkan yang menyukai dan meilih Mufid, harusnya Emak yang menikahi Mufid.
Aku tahu perasaan Emak ketika mendengar lamaran itu, tapi apa Emak tidak tau perasaanku? yang lebih tepat emak pura-pura tidak tahu. Emak benar-benar menjengkelkan. Ditambah lagi aku harus memiliki seorang Bapak yang takut dengan istrinya, tapi aku yakin Bapak dapat membantuku, terlihat dari sorot matanya yang tidak sependapat dengan Emak.
Saat kutemui di teras depan rumah aku gelengkan kepala dihadapan Bapak. Ternyata Emak sudah meracuni pikiran Bapak. Mereka datang berbalik menghampiriku, Aku mengambil posisi terburuk lebih buruk dari seekor monyet babon yang tersungkur di empang. Lagi-lagi Bapak membujukku untuk menuruti keinginan Emak. Padahal jelas pernikahan yang tidak didasari rasa cinta bagaikan berjalan di atas bara kalau kuat selamat tapi tetap meninggalkan luka, kalau gak kuat menahan luka pasti mati. Tak ada bahagia samasekali.
Tidak berselang lama kemudian Emak dan sekawanan iblis yang menyurupinya datang menambah kericuhan, dengan muka tebal kutelan hangat-hangat rentetan kata yang membabibuta. Aku turuti keinginannya. Emak kemudian memeluk dan membawakan sebongkah senyuman dengan hati bangga Ayah tampak semringah menadahinya.
Malam merayap seperti kura-kura yang berjalan di penghujung sungai. Mengantarkanku pada mimpi  yang tak terbendung imajinasi, mimpi yang mengemas fakta cerita dengan hayalan yang unik. Ini alam mimpi yang paling kuimpikan. Mimpi bercanda tawa dengan mas Agus adalah mimpi yang paling berharga. Malam ini biarkan aku berpesta dengan mimpi, karena esok aku sudah ditikam hari-hari yang getir. Tak seorangpun dapat menghentikannya. Bahkan kehadiran S. Takdir Alisjahbahana, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi, Sori Seregar, Sapardi Djoko Darmono, dan kawan-kawan tak mampu melerai kejamnya perjodohan dengan sajak-sajaknya. Tak luput seorang kritikus Rachmad Djoko Pradopo hanya menggigit pena tak sekatapun mampu terurai. Aku tetap menikah.
                                    ……⃰⃰⃰⃰    ⃰⃰    ⃰⃰   berlanjut……⃰⃰       ⃰ …..
Penasaran dengan lanjutan cerpen ini. Akan segera terbit pada buku kumpulan cerpen.
                                                                                                Nur Wahyu Budiono 20, 03,2014

About Author

Advertisement

Post a Comment

komentar yang sopan sopan saja

 
Top