Cerpen ngidam cerai
NGIDAM
CERAI
Malam ini mendung menyeret langit dalam gelap, tidak
membiarkan bulan dan bintang merkah menyinari pelataran rumah. Rinai hujan
mulai turun dan rintihan binatang malam protes akan dinginnya udara. Di sekitar
pohon jambu kelalawar yang kelaparan berklebatan mencari buah yang sudah
matang. Bahkan hampir saja binatang bertaring itu menabrak kepala saat ia
terbang melintasi teras rumah.
Emak
memanggilku agar segera masuk kedalam rumah, tapi aneh, tidak biasanya Emak
membuatkan secangkir teh hangat dan mengajak bercakap-cakap. Emak banyak
berbicara tentang pernikahan padahal usiaku baru 20 tahun. Tidak ada salahnya
aku mendengarkan omongan Emak toh kelak aku juga akan menikah.
“Fa...,”
emak berbicara dengan mimik dan intonasi terbata-bata.“kalau kamu memilih
pasangan harus melihan bebet dan
bobot, melihat garis keturunannya, kalau bisa derajat sosialnya lebih tinggi
dari kita. Kamu harus mengetahui apakah dia seorang yang bertanggung jawab atau
tidak, dan apakah dia sosok laki-laki yang bisamencukupi kebutuhan rumah
tanggamu”. Emak bertutur sambil mengelus
setiap helai rambut dan beberapa kali jari-jari tangan itu mendekap punggung
tangan kiriku.
Di dalam
hati aku tidak setuju dengan kakata-kata yang selalu diucapkan turun-temurun
itu, bahkan kata-kata itu sudah terdengar sangat kuno. Dari kata-kata itu
sekarang aku tahu sifat yang dimiliki Emak, Emak benar-benar materialistis.
Padahal setiap kebahagiaan tidak selalu didapat dari uang. Tetapi aku tetap
menghormatinya dengan berpura-pura tersenyum dan menganggukkan kepala. Toh
tidak semua yang dikatakan Emak salah.
“Fa,,,.
Kamu sudah pantas menikah lo.” Emak berbicara dan kami saling bertatap
mata.“Emak sudah memilihkanmu laki-laki yang cocok.”
“Apa mak! Siapa?” Jawabku terhentak, tadinya aku mengira
emak hanya bercanda.
“Nanti kamu akan tahu orangnya, tapi kamu harus melupakan
Agus. Karena pilihan Emak jauh lebih pantas dari pada dia”. Emak berkata dengan
halus agar tidak membuatku marah dan Emak mengendalikan suasana agar tetap
dingin.
Tetapi aku justru memberontak, aku berdiri menjauh dari Emak.
“Ogah!.” Aku gakmau
kehilangan Mas Agus, kenal pun aku gak mau dengan laki-laki pilihan Emak
apalagi aku harus menikah dengannya. Harusnya Emak tahu Mas Agus adalah laki-laki yang selalu aku
lingkarkan namanya di hati, dia adalah pengobat lara dan pengobat rindu bahkan
kesetiaannya sudah teruji saat kutinggal pergi ke Malaysia menjadi TKW. Seenaknya saja Emak menjodohkan Fa
dengan laki-laki yang sama sekali tidak Fa kenal.
Entah
tawaran apa lagi yang harus aku telan, Emak adalah nahkoda yang selalu
mengarahkanku melintasi samudara yang sama sekali belum pernah aku kecup
airnya. Seperti malam itu emak melabuhkanku di suatu tempat yang amat asing,
tempat yang penuh kutukan, penindasan bahkan tempat yang tidak akan pernah
membiarkanku lolos dari kejaran binatang buas.Kemudian segrombolan para pamong duduk bersila, didekat
jendela aku melihat laki-laki muda, berkumis tipis, mengenakan pakain rapi, dan
dia tampak berbeda dari segrombolan itu. Emak menyuruhku membuatkan teh hangat.
Tetapi tidak hanya teh yang dimaksudkan Emak. Tidak masalah bagiku itu adalah
adat yang selalu turun temurun memberikan jejamuan untuk para tamu.
Di sela-sela
pembicaraannya Emak memanggilku untuk turut berkumpul, aku duduk di samping
kanan Emak.
“ini loh
mas Mufid, anak saya yang akan kamu jadikan calon istri” aku tersentak mendengar omongan Emak, mata
yang seiris bulan sabit terbelalak sambil menoleh ke Emak. Mengalir sungai
kembar di antara dua ujung mata. Aku berlari menuju kamar.
“Mati aku.” Para tamu telah membuatkanku peti mati, dan beberapa
dari mereka membuatkan kuburan. Mengubur semua impian dan keinginanku untuk
menikah dengan Mas Agus. Bahkan sepincuk demokrasi tidak dibiarkan untuk
berunjuk gigi. Emak benar-benar penguasa meski tidak punya kuasa. Emak tetap
akan menikahkan dengan Mufid anak dari Jianto teman kecilnya yang sekarang
telah menjadi kepala sekolah SMA. Aku gak sudi menikah dengan Mufid, laki-laki
yang nantinya akan mencium pipiku, memeluk, meraba, melucuti seluruh tubuh, bahkan
akan merampas keperawananku dan nantinya akan menyusui anak dari laki-laki yang
tidak aku harapkan.
Hah. Ini mimpi buruk! Ini lebih buruk dari mimpi, ini
kenyataan buruk. Kenapa Emak ngebet kawinin aku dengan Mufid, toh Emakkan yang
menyukai dan meilih Mufid, harusnya Emak yang menikahi Mufid.
Aku tahu perasaan Emak ketika mendengar lamaran itu, tapi
apa Emak tidak tau perasaanku? yang lebih tepat emak pura-pura tidak tahu. Emak
benar-benar menjengkelkan. Ditambah lagi aku harus memiliki seorang Bapak yang takut
dengan istrinya, tapi aku yakin Bapak dapat membantuku, terlihat dari sorot
matanya yang tidak sependapat dengan Emak.
Saat kutemui di teras depan rumah aku gelengkan kepala
dihadapan Bapak. Ternyata Emak sudah meracuni pikiran Bapak. Mereka datang
berbalik menghampiriku, Aku mengambil posisi terburuk lebih buruk dari seekor
monyet babon yang tersungkur di empang. Lagi-lagi Bapak membujukku untuk
menuruti keinginan Emak. Padahal jelas pernikahan yang tidak didasari rasa
cinta bagaikan berjalan di atas bara kalau kuat selamat tapi tetap meninggalkan
luka, kalau gak kuat menahan luka pasti mati. Tak ada bahagia samasekali.
Tidak berselang lama kemudian Emak dan sekawanan iblis
yang menyurupinya datang menambah kericuhan, dengan muka tebal kutelan
hangat-hangat rentetan kata yang membabibuta. Aku turuti keinginannya. Emak
kemudian memeluk dan membawakan sebongkah senyuman dengan hati bangga Ayah
tampak semringah menadahinya.
Malam merayap seperti kura-kura yang berjalan di
penghujung sungai. Mengantarkanku pada mimpi yang tak terbendung imajinasi, mimpi yang
mengemas fakta cerita dengan hayalan yang unik. Ini alam mimpi yang paling kuimpikan.
Mimpi bercanda tawa dengan mas Agus adalah mimpi yang paling berharga. Malam
ini biarkan aku berpesta dengan mimpi, karena esok aku sudah ditikam hari-hari
yang getir. Tak seorangpun dapat menghentikannya. Bahkan kehadiran S. Takdir
Alisjahbahana, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi, Sori Seregar, Sapardi Djoko
Darmono, dan kawan-kawan tak mampu melerai kejamnya perjodohan dengan
sajak-sajaknya. Tak luput seorang kritikus Rachmad Djoko Pradopo hanya
menggigit pena tak sekatapun mampu terurai. Aku tetap menikah.
……⃰⃰⃰⃰
⃰⃰ ⃰⃰ berlanjut……⃰⃰ ⃰ ⃰ …..
Penasaran
dengan lanjutan cerpen ini. Akan segera terbit pada buku kumpulan cerpen.
Nur
Wahyu Budiono 20, 03,2014
Post a Comment
komentar yang sopan sopan saja